Berbicara tentang gamer, tak bisa dipungkiri, ada konotasi negatif.
Orang dewasa yang kecanduan game bisa-bisa dianggap kurang kerjaan,
tidak profesional, menelantarkan aktivitas yang lebih produktif lainnya.
Terlebih lagi, jika yang menjadi gamer itu seorang mama,
cibiran kian bertambah kencang. Jangan-jangan, anaknya nggak keurus.
Atau, anaknya pasti disodori game terus supaya si ibu juga bisa main
game.
Padahal, ada kritik dari para psikolog di dunia, game
banyak keburukannya bagi tumbuh kembang anak. Yang paling menyeramkan,
game bisa menimbulkan kecenderungan untuk berlaku kekerasan. Salah satu
contohnya adalah Adam Lanza, pelaku penembakan siswa SD Sandy Hook,
Amerika yang menewaskan 12 murid. Perilaku Adam diduga dipengaruhi oleh
hobinya main game yang sering menampilkan adegan kekerasan seperti Call
of Duty dan Grand Theft Auto.
Mengenai hal ini, Marlin Sugama
dari Main STudio, menggarisbawahi, pada dasarnya segala sesuatu yang
berlebihan itu tentu tidak baik. Jadi, dalam hal ini, game tidak bisa
menjadi kambing hitam atas perilaku negatif. “Sebetulnya, bukan salah
game-nya, melainkan orangnya yang tidak bisa mengendalikan diri,” tegas
Marlin yang mengajar tentang game di Universitas Bina Nusantara ini.
Apalagi
bagi para mama, tidak bisa dipungkiri para mama masa kini mengasuh dan
membesarkan digital kid, anak-anak yang dari lahir dan bayi sudah
terpapar teknologi digital dan sudah menggunakannya sejak dini. Bagi
banyak ibu, mengasuh anak digital tentu punya tantangan tersediri,
lebih-lebih bagi para ibu yang masih generasi X, yaitu generasi yang
lahir antara tahun 1965-1979, yang ketika kecil tidak terpapar teknologi
digital secara massif.
Menurut Marlin yang juga ibu dari
dua orang anak yang berusaia 12 tahun dan 9 tahun, justru ketika seorang
ibu mengetahui dan memahami teknologi –di antaranya game- bisa membuat
si anak lebih bangga dan senang. Hal itu terjadi pada hubungan antara
diri dan kedua anaknya. Ia mendapatkan bukti bahwa ia dianggap mama yang
cool oleh anak serta teman-teman anaknya karena update dengan apa yang
terjadi saat ini. “Untungnya lagi, saya bisa menjadi rujukan anak-anak
untuk bertanya, game mana yang cocok dan seru untuk usia mereka,”
tuturnya, tersenyum.
Tetapi, tentu saja ada kompromi-kompromi
yang dilakukan antara Marlin dan anak-anak. Misalnya, soal jadwal main
game juga jenis game yang boleh dimainkan. “Daripada dilarang-larang,
nanti mereka bisa ngumpet-ngumpet main dan justru kita kehilangan
kesempatan untuk mengontrolnya,” imbuhnya.
Listyo juga sepakat bahwa
komunikasi yang baik dengan anak memang dibutuhkan, orangtua harus tahu
tentang kebiasaan bermain game online.
“Namun, tidak berarti
orang tua harus mengalami sendiri. Minimal dengan menemani anak saat
bermain game merupakan hal penting karena itu bentuk family techno
system. Family techno system itu adalah upaya atau cara membuat aturan
atau mengatur pola perilaku dalam keluarga saat anggota keluarga
berinteraksi dengan teknologi termasuk bermain game,” tuturnya.
Tetapi,
Listyo juga berpendapat, bila anak dan orang tua dapat bermain game
bersama itu lebih baik, karena orang tua dapat mendampingi anak secara
langsung. “Orang tua bisa memberikan penjelasan tentang permainan
tersebut, membantu anak-anak mengetahui atau membedakan kenyataaan dan
apa yang ada di game, dan dapat mengetahui karakter anak saat bermain
game. Karakter atau prilaku anak yang sebenarnya dapat diketahui melalui
suatu aktivitas yang menyenangkan karena anak dapat bebas berekspresi,”
jelasnya. Namun, waktu bermain yang harus disiapkan tepat waktunya dan
kondisi yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar