Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.
Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.
Terkait dengan isu-isu tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas). Strategi ini mencoba menguji betapa persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara hukum (rule of law) memiliki keterkaitan dengan kemiskinan. Stranas meyoroti sebuah pendekatan yang memperkuat masyarakat miskin untuk menyadari hak-hak dasar mereka, baik melalui mekanisme formal maupun informal, sebagai sebuah cara untuk mengentaskan kemiskinan. Stranas juga menekankan bahwa reformasi penegakan hukum membutuhkan tidak hanya solusi teknis hukum semata, namun juga pendekatan sosio-politik. Saat ini, beberapa rekomendasi pokok dari Stranas sedang disatukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014).
Stranas memiliki rencana aksi yang mencakup delapan area kunci:
Sektor Reformasi Yudisial dan Hukum
Pemberian Bantuan Hukum
Tata Pemerintahan Lokal
Tanah dan Sumber Daya Alam
Isu Gender
Hak-Hak Anak
Reformasi Perburuhan, dan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin dan yang Termarjinalkan
Keberagaman tradisi hukum menciptakan kompleksitas yang berdampak pada isu-isu aksesibilitas dan keadilan.
Walaupun Konstitusi Indonesia secara gamblang menyatakan Indonesia
sebagai negara kesatuan yang berdasarkan pada hukum, kerangka
normatifnya memperbolehkan adanya hukum negara, agama, dan adat yang
dapat menjadi saling tumpang tindih. Beberapa studi menyiratkan bahwa di
mana terdapat perbaikan kinerja lembaga penegakan hukum, dikarenakan
berbagai faktor, hukum tersebut tetap tidak dapat diakses oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia. Adanya aktor penyelesaian sengketa lokal,
termasuk aparat desa serta pemimpin adat dan agama, mengisi kekurangan
tersebut dengan adanya aksesibilitas dan legitimasi, namun acapkali
mengorbankan keadilan. Mereka memiliki keterbatasan soal bagaimana
menghadapi perempuan dan kelompok rentan, termasuk di antaranya
minoritas etnis. Batasan kewenangannya juga tidak jelas. Program lembaga
penegakan hukum sebaiknya memusatkan diri secara paralel kepada
persoalan bagaimana meningkatkan kualitas keadilan dari mekanisme
non-negara, khususnya dengan memastikan adanya kesesuaian yang lebih
dekat dengan aturan konstitusi, dan memperkuat akses mekanisme
non-negara terhadap mekanisme formal, yang serta-merta dapat
meningkatkan akuntabilitas mekanisme non-negara.
Memajukan pengembangan kepastian hukum dan kebijakan berbasis pengalaman. Interaksi rumit antara sistem negara dan non-negara serta menjamurnya peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dan nasional pasca desentralisasi mengakibatkan terjadinya ketidakpastian pada kerangka hukum. Sebagai contoh, kira-kira sebanyak 8% peraturan daerah yang ditelurkan pada 2007 ditemukan tidak sesuai dengan hukum nasional, yang mana Menteri Keuangan memperkirakan adanya persentase yang lebih tinggi lagi terhadap peraturan daerah yang terkait dengan pajak dan retribusi. Karena itu, ada sebuah kebutuhan untuk mendukung harmonisasi, baik lintas level pemerintah maupun antara mekanisme negara dengan non-negara. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman analitis yang kuat terhadap isu-isu tersebut dan kumpulan bukti-bukti di lapangan, termasuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan kendala-kendala pada level lokal yang menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar